Saat duduk dibangku dengan seragam
pendek putih biru tua, aku, fadil, dan agus menjalin persahabatan. Kita kenal
baru saja, tapi kita merasa sudah saling cocok antara satu sama lain, dan mampu
memahami kehidupan masing-masing. Sejak pertama masuk di masa orientasi siswa,
kami ditakdirkan untuk berada di atap yang sama, ruang yang sama, udara yang
kita hirup pun sama, tak ada yang beda. Kita selalu menjalani aktifitas yang
sama, sejauh ini aku merasakan tak ada langkah kita yang berbeda, selalu saja
sama. Aku menyebutnya ini sahabat kecilku yang baru. Aku mulai tertanam rasa
untuk memberi nama persahabatan ini adalah “Tiga Nama” karena kita mempunyai
nama yang huruf depannya berurutan seperti alfabet, kita juga punya nama
panggilan yang berisi hanya 3 huruf saja, dan memang persahabatan kita ada 3
anggota. Ketika kelas 7 SMP dulu, kita selalu menghabiskan waktu bersama, ke
kantin, dihukum, ngerjain PR, tugas kelompok, bermain, menghabiskan waktu akhir
pekan. Kita bertiga sering dipanggil orang dengan sebutan anak kembar, padahal
kan kita mempunyai mimik wajah yang berbeda satu sama lain. Agus mempunyai
cita-cita yang sangat mudah untuk diraih dalam satu tahun kedepan, Agus
mempunyai cita-cita sederhana agar kita tetap utuh. “Suatu hari, jika kita
memang ditakdirkan kembali untuk memasuki ruang yang berbeda, dengan jarak yang
jauh, dan atap kita tak sama, aku ingin kita selalu bersama seperti ini. Tak
ada lagi yang berbeda” harapan Agus untuk satu tahun kedepan demi keutuhan
“Tiga Nama”. Aku dan Fadil tentu selalu menyetujui ketika hal tersebut masih
tercium bau positif untuk persahabatan kita. Selain harapan Agus yang mulia,
tapi dia juga sempat bercerita kepada aku dan fadil, jika dia tidak suka jika
harus satu kelas dengan teman-teman yang selalu berkehidupan mewah, suka
menghambur-hamburkan uang mereka demi kesenangan sesaat. Aku dan fadil
menghargai Agus, yang tidak suka dengan orang-orang yang suka membuang uang
mereka dengan hal yang sesaat.
Hari demi hari berlalu, kami selalu
menikmatinya agar ada banyak hal lagi yang akan kami lakukan bersama. Namun
akhirnya semua memang berlalu begitu cepat, kebersamaan yang kita lakukan
membawa kami untuk bertemu dengan ujian akhir semester. Kami selalu menambahkan
kenangan disela-sela kesibukan belajar kami dengan belajar kelompok bersama di
rumah kami bertiga secara bergantian. Dan akhirnya setelah setahun kita bersama didalam suka duka, untuk yang
pertama kalinya kita berbeda arah, berbeda langkah. Aku dan Fadil bersama, dan
kita berpisah dengan Agus. Mungkin kami perlu memperlapang dada, belajar
mengikhlaskan walau tak semudah terlelap di lautan lepas. Agus mendapat
teman-teman yang sebenarnya sungguh tidaklah menjadi harapannya setahun yang
lalu, tapi apa boleh buat, agus harus tetap bisa bergaul dengan mereka yang
setiap hari membuang harta mereka banyak-banyak untuk kesenangan semata. Aku
pernah berkata kepada Fadil “Kita harus tetap bertiga, tidak berdua, apalagi
sendiri. Apapun yang terjadi, keadaannya. Setiap jam istirahat kita berdua yang
harus menghampiri agus untuk rutinitas di kantin sekedar memesan es teh buatan
ibumu Dil”. Fadil tertawa mendengar leluconku. “Ah, kamu bisa aja Rul. Es teh buatan ibuku, tak seenak
buatan ibumu. Aku pernah meminumnya saat kamu membawa sekotak makan siang dan sebungkus
es teh terbungkus rapi, rasanya manis. Tapi sayang, tak semanis anaknya haha”
Fadil tertawa lepas mengejek Khoirul. “Hahaha segitu bahagianya kamu ya dil
mengejekku. Apalagi omongan kamu seperti speaker, kencang sekali. Aku jadi malu
jadinya… Tapi tidak apa-apa, aku tau itu hanya leluconmu saja”. Saat aku dan
fadil sedang bertukar tawa, saling mengejek, tiba-tiba aku melihat agus sedang
berada dikerumunan mereka yang kelakuannya sungguh bukan cita-cita agus, tapi
aku heran, mereka begitu akrab seperti tidak ada apa-apa diantara satu sama
lain. Padahal aku tahu, agus dari setahun yang lalu tidak suka dengan
sosok-sosok yang seperti mereka. Apakah mungkin agus terpaksa menjalaninya?
Jika ia, mengapa kulihat selalu ada senyum yang merekah saat mereka sedang
berjalan didepan kelasku? Apa untuk membuatku merasa panas tak bisa berteman
dengan orang-orang seperti mereka? Tidak, agus bukan tipe orang seperti itu.
Atau aku salah melihat agus? Aku selalu memikirkan keadaan agus yang semakin
hari semakin menjadi. Sebelum tidur aku selalu mengirimkan pesan singkat
untuknya, tapi tak pernah sekalipun ia balas setelah aku lihat mereka berjalan
bersama didepan kelasku. Fadil pun berkata jika dia tak pernah melihat agus
berada dikeramaian orang-orang yang mengantri es teh di kantin ibunya. Mungkin
semenjak itulah agus dihasyut untuk tidak jajan di kantin ibunya fadil. Maklum,
mereka yang berlimpah harta selalu jajan di kantin yang elit dan menyediakan
makanan yang istimewa, tak sesederhana kantin ibunya fadil yang menjajakan
makanan yang tak enak, dan tak sampai merogok kocek terlalu dalam.
Tak
hanya sekali agus dan teman barunya lewat didepan kelasku, beberapa kali aku
melihatnya, menyapanya, tapi sekali lagi usahaku sia-sia, sapaanku
dihempaskannya jauh seperti kita memang tak saling kenal. Apa agus malu
mempunyai sahabat seperti aku dan fadil? Pikiran itu selalu masuk terlalu dalam
ditelingaku. Setelah lama aku dan fadil dilupakan agus, aku mulai lelah dengan
sikapnya yang selalu dingin, aku tak mau membuang waktuku, membuat waktu berhargaku
terbuang sia-sia untuk sahabatku yang melupakan aku. Aku mulai berdiam diri di
kelas, mengurung diri untuk jajan di kantin mana saja termasuk kantin ibunya
fadil, agar aku bisa terbiasa jika aku hanya akan mempunyai satu sahabat. Fadil
lah yang selalu berusaha menemaniku, mengajakku bercerita dan mengajariku untuk
melupakan sesuatu yang mungkin menurut kita baik tapi menurutnya hal yang
sepele. Fadil juga yang mengajariku untuk memaafkan, dan mengikhlaskan agus
yang setahun lalu adalah sahabat terbaikku, bahkan aku menganggapnya melebihi
fadil.
Tiba-tiba
ketika aku sedang mengurung diri di kelas, Fadil menghampiriku “Rul, bagaimana
jika kita berdua bujuk agus untuk kembali mengingat perkataannya setahun yang
lalu? Aku tidak melarangnya untuk berteman dengan siapa saja, tapi aku
melarangnya untuk melupakan kita berdua. Aku juga tak mau melihat kamu yang
setiap hari berdiam diri didalam kelas, biasanya kan kamu anaknya super aktif,
kalau tiba-tiba kamu jadi anak pendiam, aku malah bingung. Aku ingin kita
bertiga kembali, tak seperti ini”. Kata-kata fadil saat itu mampu membuatku
semangat kembali. “Bagaimana jika nanti sore kita main ke rumahnya? Kita
bicarakan soal hal ini di rumahnya, aku tunggu kamu di sekolah jam 15.00”.
Fadil tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya. Lalu tiba-tiba guru
matematika sudah datang dengan membawa muka kesalnya. Padahal kemarin tak di
adakan ulangan dan itu berarti tak ada nilai yang jelek. Memang begitu guru
matematikaku yang satu itu, sedikit berbeda dibanding guru yang lain, mereka
bersahaja, bahagia saat mengajar di kelas kami.
Pelajaran matematika oleh ibu guru
judes akhirnya kelar, aku menghela nafas panjang.Istirahat kedua pun sudah
tiba, aku segera menuju ke kantin ibunya fadil sendirian, fadil sudah ada
disana ketika bel mulai terdengar, ketika aku masih sibuk membereskan buku-buku
matematika yang membuatku jenuh sampai terdengar bunyi diperutku. Ketika di
kantin ibunya fadil, aku memesan seporsi menu makan kebiasaanku, nasi dan
brokoli goreng tepung, aku memesan segelas es teh ke fadil, karena fadil
membantu ibunya membuatkan minuman di kantin saat jam istirahat. Ketika pesanan
ku sudah jadi, aku segera membawanya ke meja sebelah pintu agar aku bisa keluar
dengan cepat, dan bisa melihat keramaian disekitar. Hari ini, jam istirahat
kedua tepatnya, kantin ibunya fadil cukup ramai anak kelas 8, teman-teman
seangkatanku, seperjuanganku. Ketika aku sedang melahap sesuap nasi, tiba-tiba
saja agus dan teman-temannya yang baru datang, teman-temannya memesan es teh ke
fadil, tapi agus tak memesannya, agus hanya mengikuti langkah mereka pergi.
Ketika fadil melihat dijajaran orang yang sedang memesan es teh kepadanya, ia
melihat agus dikerumunan itu, ia begitu pendiam sekali, bahkan ia tak tersenyum
melihat fadil, apalagi tersenyum, melirik saja ia tak mampu, ia lebih senang
menundukkan kepalanya sekarang ketika melihat aku atau fadil. Aku tak tau
ketika agus berada di kantin yang sama denganku ketika makan siang, karena aku
sibuk melahap makananku, hingga aku tak melihat sekitar. Tiba-tiba teman-teman
agus yang baru mengejek fadil yang sedang membantu ibunya “Cepatlah! Kok lama
banget... capek ya? Makanya kalau punya orang itu yang kerjanya kantoran, jadi
enggak repot macam ini, mana buat es teh nya lama lagi...” ejek teman-teman baru
agus dengan keras, hingga semua yang jajan di kantin ibunya fadil pandangannya
menuju ke fadil, kini fadil menjadi bahan ejekan karena teman-teman baru agus.
Agus hanya diam saja, mungkin dia juga bingung untuk membela yang mana. Aku
segera bangkit dari bangku meja makan, dan aku langsung membela fadil yang saat
itu emosinya kian meningkat, aku mengajarkannya untuk sabar, menahan emosi,
ibunya fadil mengeluarkan banyak air mata dipipinya. Aku cuma bisa bilang ke
ibunya fadil “Sabar bu, tak lama karma akan datang. Percayalah”. Aku langsung
membayar makanan dan minumanku, kuberikan kepada ibunya selembar uang kertas
berwarna ungu ke merah jambuan, lalu di kembalikannya selembar uang berwarna
abu-abu. Aku lalu mengajak fadil untuk menenangkan diri di kelas. Teman-teman
agus tadi tak jadi membeli, mungkin mereka hanya bermaksud untuk mengejek
fadil, bukan memberinya jalan untuk menuju orang yang lebih mampu.
Aku semakin kesal sendiri dengan
sikap agus, sore ini aku dan fadil akan pergi ke rumahnya, tak jauh dari
sekolah, hanya kurang lebih 200 meter saja. Ku tempuh dengan langkah kaki,
sambil kugendong tas hitamku, dan aku masih mengenakan seragam batik. Aku mengetuk
pintunya hanya sekali, tiba-tiba seorang laki-laki seumuranku membukakan pintu,
menyapaku ramah, dan masih menundukkan kepala. Iya, itu agus. Ia menyuruhku
masuk, dan duduk di ruang tamunya. Aku dan fadil tidak panjang lebar untuk
menyampaikan maksud kedatanganku. Aku menanyakan mengapa sekarang ia berubah?
“Hai Gus, kamu kenapa sekarang jadi berubah? Sikapmu terhadap kita dingin, tak
seperti dulu, aku rindu agus yang dulu, apa karena teman baru? Kalau iya,
mengapa kamu berani menjilat lidah kamu sendiri? Kalau kamu terpaksa berteman
dengannya, apakah tidak ada teman yang lain yang bisa membuatmu jauh lebih baik
dibandingkan yang sekarang. Mengapa sekarang kamu mulai menjauhi kami saat kami
berusaha keras mendekatimu? Apa kamu sekarang sudah dibodohi mereka? Kamu
mungkin tak tau maksud mereka, bisa jadi mereka membodohi kamu agar kita bisa
diadu domba, kalau kamu memang orang yang pintar, pasti kamu tidak akan seperti
itu kan Gus?” pertanyaanku yang seperti kereta api itu langsung keluar dari
mulutku, karena aku sudah ingin menanyakan ini jauh hari sebelumnya. “Maafkan
aku, rul, dil. Kalau kalian menganggap aku berubah itu benar, tapi tidak pernah
bermaksud menjauhi kalian, di kelas aku, siswa laki-lakinya hanya orang-orang
seperti itu saja dan aku. Jadi aku bisa apa? Apa iya aku harus bergaul dengan
siswa perempuan yang sukanya bermain masak-masakan? Aku juga mengerti rul, maka
dari itu, aku tidak pernah mengangkat kepalaku sedikitpun ketika aku melihat
kalian, karena aku tidak mau terlihat menantang kalian, kalian masih sahabatku,
aku masih seringkali menceritakan kalian pada orang tuaku, ketika kalian
sesekali pernah menyapaku tapi aku tak meresponnya, aku sudah memilih jalan ini
rul, dil. Dan ini harus tetap kujalani sampai satu tahun kedepan, setelah
akhirnya kita mungkin bisa dipersatukan kembali” jawabnya sambil menuangkan air
putih di gelasku, dan gelasnya fadil. “Kamu memilih untuk berhenti menjadi
sahabatku dan fadil atau kamu memilih berteman dengan mereka yang dulu sering
kamu ceritakan hal buruknya kepada kita?” tanyaku untuk meyakinkannya sekali
lagi. “Kalian. Kalian sahabatku, mereka hanya temanku sesaat, mereka hanya ada
saat aku sedang suka, tapi mereka menjauh saat aku duka” jawabnya dengan
bijaksana. “Kita kembali 3 kan rul, gus?” tanya fadil dengan tawa kecilnya.
“Iya dong, dari 3 pasti kembali 3” jawabku dengan santai. “Terima kasih kalian
sudah mau menerimaku kembali, dan memaafkan kesalahanku selama ini. Kalian
memang sahabatku. TIGA NAMA!!!” setelah aku berucap terima kasih, kami bertiga
bersorak-sorai tertawa lega. Akhirnya persahabatan kami bisa kembali lagi.
--BERSAMBUNG--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar